Pages

    Latest Tweets

    tes

    Popular post

    ?max-results=10">Label 3'); document.write("?max-results="+numposts+"&orderby=published&alt=json-in-script&callback=showrecentposts\"><\/script>");

You are here: Home »

Hening

Unknown Sabtu, 03 November 2012 , , , , , , , 0


Suara bising dalam keheningan aku dengar. Seperti ular yang mendesis, tapi kadang seperti dentuman suara musik keras sebuah diskotik. Lalu terdengar gelak tawa yang lepas, atau sekedar bisik-bisik. Ah, keheningan yang tidak biasanya aku rasakan. Ramai. Gaduh. Berbeda. Aku tak suka! Berhentilah!! Aku mohon..
Menyandarkan tubuh disudut kamar, dengan kepala tengadah menghadap langit-langit. Sebatang rokok masih terselip diantara kedua bibirku, mengepulkan asap yang menari-nari. Gelap. Didalam kamar ini memang gelap. Cahaya satu-satunya ku dapatkan dari bara rokok ini. Hening yang bising dan juga gelap. Aku tak suka!

Gelas kopi tergeletak mati karena kosong. Hanya ampasnya saja menjadikan hitam lantai kamar yang telah kotor semakin kotor. Puntung rokok telah menyembul keluar dari dalam asbak, berdesakan, sebagian jatuh disisinya. Bangkai bungkus rokok dan gelas-gelas yang sebagian telah pecah pun berserakan hampir disetiap sudut kamar.

Dengan wajah tengadah, dengan kedua kaki yang ku rapatkan ketubuh. Aku mencoba mencari setan yang bergetayangan dikepalaku, agar berwujud di langit-langit itu. Biar aku dapati dengan jelas bagaimana wujud musuhku itu. Musuh yang selama ini telah menjerat diriku dalam kehidupan yang kelam seperti ini. Dan aku tak butuh tuhan!

Karena Tuhan telah menciptakan banyak perempuan berhati iblis dalam kehidupanku selama ini, dan juga semua penderitaan hidup yang kurasakan. Dari seorang perempuan yang seharusnya menyusui diriku, dia melemparkan aku kedalam kehidupan tanpa mengenalkan apa itu kasih sayang selain hujatan dan cacian. Tak lupa, pukulan keras yang, entah sudah berapa ratus kali menghantam batok kepalaku. Hingga berbekas disana sini. Dengan tangannya, dan dengan tangannya yang menggenggam batang sapu, gayung, gelas atau asbak. Meninggalkan aku terluka dan tersakiti. Dan aku harus bangkit dari semua luka itu sendiri. Tanpa pernah aku meminta pertolongan tuhan. Karena tuhanlah yang mengirim mereka dalam kehidupanku selama ini.

Bara perlahan-lahan mulai menghabiskan batang rokokku. Namun abunya tak juga jatuh. Aku masih menengadah dalam harapan menemukan setan. Setan itu musuhku. Dan tuhan bukan musuhku. Tuhan hanya mengirimkan kesialan-kesialan dalam kehidupanku tanpa mau menghasut diriku untuk terjerumus dalam kelam hidup. Tapi setan yang menghasut aku dan semua perempuan-perempuan iblis itu agar menyakiti diriku berkali-kali.

Akh! Setanpun berjiwa pengecut ternyata. Dia sama sekali tak menampakan wujudnya sampai saat ini. Aku memincingkan mataku sesekali berharap setan itu muncul ketika mereka berfikir aku telah tertidur. Namun tetap saja. Jadi aku pikir setan adalah mahluk pengecut yang selalu memprovokasi kehidupan manusia. Dan bersembunyi dalam tubuh manusia-manusia yang bengis. Yang berbuat tanpa mengenal belas kasih.
Akhirnya aku mulai bosan dan merasa menang. Rokok aku matikan. Lalu aku berdiri dengan bersusah payah, menyandarkan tubuhku pada tembok. Setelah kurasa kuat, aku melangkah mendekati cermin yang terpajang disisi tembok kamarku yang lain. Dengan gontai, tak perduli pecahan beling dari gelas minuman itu melukai kakiku. Darah. Ah, aku telah terbiasa terluka. Jadi bagiku, luka dan darah yang ada tak berarti sama sekali. Biarkan darah itu bercampur dengan hitam ampas kopi yang mengotori lantai kamarku. Biar menjadi hitam dan merah. Seperti hidupku dan luka yang kumiliki.

Didepan cermin aku hembusankan nafasku kuat-kuat sehingga bayang wajaku pun hilang tertutup kabut. Ah, andai saja semudah itu aku menghilangkan wujud diriku dalam kehidupan. Betapa mengasikan semua itu. Lalu besar dalam kehidupan yang tak jelas seperti saat ini.Aku tidak akan mengakhiri hidupku layaknya pengecut. Itu sebab malam ini aku memutuskan untuk menemukan wujud setan, musuh utamaku. Paling tidak, saat ajalku tiba, aku merasa puas karena telah mengetahui seperti apa wujud musuhku itu.
Musuhku bukan setan seperti yang ada dalam legenda dan cerita kebanyakan orang. Dia bukan Kuntilanak, Sundel Bolong, Genderuwo, Tuyul, Pocong atau apalah itu. Mereka-mereka itu bukanlah setan yang aku cari. Seandainya mereka ada. Aku tak akan perduli. Mereka hanya mahluk jadi-jadian yang tak pernah jelas jati dirinya

Perlahan kabut yang menutupi bayang diriku dicermin mulai hilang. Kembali aku mendapati wajahku sendiri. Dan wajah itu seperti nya tak bisa aku kenali lagi. Ah, aku membenci diriku sendiri yang juga tak pernah jelas wujud dan bentuknya. Lihatlah! Dia sama sekali tak bisa terlihat hidup. Mati! wajahnya yang pucat, dengan kantung mata yang terlihat begitu besar menghitam. Menggelayut diantara mata dan pipi. Sorot matanya juga kosong! Lebih jauh terlihat murung. Tapi aku masih bisa mengenali wajah itu, lewat bekas-bekas luka dipelipis, goresan panjang disisi wajahku, dan sedikit luka yang menyembul keluar dari garis rambutku. Ya, wajah dicermin itu tetaplah diriku. Wajah dalam cermin itu masihlah aku. Meski aku merasa asing. Tolol! Cermin itu aku hantam dengan satu pukulan. Pecah! Aku hanya berdiri termangu ketika cermin itu jatuh tepat diatas kakiku. Berserakan sebagaimana pecahan gelas-gelas itu. Aku mendengus. Bodoh!
Lalu aku berjalan perlahan menghampiri kasur untuk merebahkan tubuhku yang mulai aku rasa letih.
Rasa kantuk mulai menghinggapi diriku. Berat. Mata ini terasa berat. Perlahan-lahan dalam harap, aku menutup mataku. Semoga esok, cahaya matahari tak lagi malu-malu untuk masuk kedalam kamar yang bau busuk ini. Ah, semoga damai bisa aku raih dalam lelap tidurku. Sungguh aku letih.
Hening…

Kembali, dalam hening aku mendengar desis suara ular, lalu berubah lagi menjadi dentuman keras suara musik sebuah diskotik, seiring suara gelak tawa yang keras lagi lepas, sesekali berbisik. Akh, semua kembali seperti semula. Sungguh aku tak suka! Berhentilah!! Dimanakah kau, Setan?! Tunjukan dirimu!!
Aku beranjak dari tempatku tertidur, meraih gelas kosong yang tergeletak dilantai. Lalu aku hantamkan kearah tembok, lagi dan lagi hingga pecah berantakan. “SETAAAAANN…..!!” aku memaki sejadinya, melempar terus gelas gelas itu kesegala arah. Aku tak lagi perduli pecahan gelas itu melukai kakiku. Lantai berubah merah, hitam ampas kopipun tenggelam ditelannya. “KELUAR KAU SETAN!… KELUAAAAARR….!!”

Namun suara desis ular, dentuman musik keras, gelak tawa, dan bisik-bisik itu semakin membahana dikepalaku. Sakiiiiiit!!… aku merasa sakit yang teramat sakit di telingaku dan juga di kepala. AAAAGGGGHHHH…!!!…..

Tubuhku terkapar di atas lantai kamar yang kotor, dimana darah bercampur dengan ampas kopi. Didalam genggaman tanganku masih aku genggam gelas yang tadi aku hantamkan kebatok kepalaku. Ini gelas yang ke 3. Darah mengalir perlahan dari kepalaku, sebagian mengalir melewati wajaku yang jatuh telungkup. Dan sebagian yang lain membasahi lantai kamarku. Bercampur dengan darah yang juga keluar dari tubuhku.
Pecahan gelas itu telah menancap sebagian menembus kulit perutku. Ah, sakitnya terasa berbeda aku rasa. Dingin menjalar tiba-tiba disekujur tubuhku. Dalam samar pandangan mata, aku melihat sosok bayangan hitam berdiri dihadapanku. Dengan senyum menyeringai. Matanya..matanya menyala merah. A-apakah itu dia? Setan yang sedari tadi aku cari dan harap kedatangannya.

Langkah kakinya mendekati diriku yang sudah tak berdaya. Samar-samar aku melihat wajahnya mendekati wajahku. Tapi pandangan mataku semakin samar. Semakin gelap. Aku hanya bisa merasakan dengus nafasnya yang panas menerpa wajahku saat ia berkata, “Aku datang, wahai Pemuja” Lalu tertawa membahana di seluruh ruang kamarku. Dan aku mulai merasakan kantuk yang amat sangat. Lalu semua menjadi gelap dan gelap….

About The Author

Adds a short author bio after every single post on your blog. Also, It's mainly a matter of keeping lists of possible information, and then figuring out what is relevant to a particular editor's needs.

Share This Article


Related Post

Tidak ada komentar:

Leave a Reply

Entri Populer