Suara bising dalam keheningan aku dengar. Seperti ular yang mendesis, tapi
kadang seperti dentuman suara musik keras sebuah diskotik. Lalu terdengar gelak
tawa yang lepas, atau sekedar bisik-bisik. Ah, keheningan yang tidak biasanya
aku rasakan. Ramai. Gaduh. Berbeda. Aku tak suka! Berhentilah!! Aku mohon..
Menyandarkan tubuh disudut kamar, dengan kepala tengadah menghadap
langit-langit. Sebatang rokok masih terselip diantara kedua bibirku,
mengepulkan asap yang menari-nari. Gelap. Didalam kamar
ini memang gelap. Cahaya satu-satunya ku dapatkan dari bara rokok ini. Hening
yang bising dan juga gelap. Aku tak suka!
Gelas kopi tergeletak mati karena kosong. Hanya ampasnya saja menjadikan
hitam lantai kamar yang telah kotor semakin kotor. Puntung rokok telah menyembul
keluar dari dalam asbak, berdesakan, sebagian jatuh disisinya. Bangkai bungkus rokok dan gelas-gelas yang sebagian telah pecah pun berserakan hampir
disetiap sudut kamar.
Dengan wajah tengadah, dengan kedua kaki yang ku rapatkan ketubuh. Aku mencoba mencari setan yang bergetayangan dikepalaku, agar berwujud di
langit-langit itu. Biar aku dapati dengan jelas bagaimana wujud musuhku itu.
Musuh yang selama ini telah menjerat diriku dalam kehidupan yang kelam seperti
ini. Dan aku tak butuh tuhan!
Karena Tuhan telah menciptakan banyak perempuan berhati iblis dalam
kehidupanku selama ini, dan juga semua penderitaan hidup yang kurasakan. Dari
seorang perempuan yang seharusnya menyusui diriku, dia melemparkan aku kedalam
kehidupan tanpa mengenalkan apa itu kasih sayang selain hujatan dan cacian. Tak
lupa, pukulan keras yang, entah sudah berapa ratus kali menghantam batok
kepalaku. Hingga berbekas disana sini. Dengan tangannya, dan dengan tangannya
yang menggenggam batang sapu, gayung, gelas atau asbak. Meninggalkan aku
terluka dan tersakiti. Dan aku harus bangkit dari semua luka itu sendiri. Tanpa
pernah aku meminta pertolongan tuhan. Karena tuhanlah yang mengirim mereka
dalam kehidupanku selama ini.
Bara perlahan-lahan mulai menghabiskan batang rokokku. Namun abunya tak
juga jatuh. Aku masih menengadah dalam harapan menemukan setan. Setan itu
musuhku. Dan tuhan bukan musuhku. Tuhan hanya mengirimkan kesialan-kesialan
dalam kehidupanku tanpa mau menghasut diriku untuk terjerumus dalam kelam
hidup. Tapi setan yang menghasut aku dan semua perempuan-perempuan iblis itu
agar menyakiti diriku berkali-kali.
Akh! Setanpun berjiwa pengecut ternyata. Dia sama sekali tak menampakan
wujudnya sampai saat ini. Aku memincingkan mataku sesekali berharap setan itu
muncul ketika mereka berfikir aku telah tertidur. Namun tetap saja. Jadi aku
pikir setan adalah mahluk pengecut yang selalu memprovokasi kehidupan manusia.
Dan bersembunyi dalam tubuh manusia-manusia yang bengis. Yang berbuat tanpa
mengenal belas kasih.
Akhirnya aku mulai bosan dan merasa menang. Rokok aku matikan. Lalu aku
berdiri dengan bersusah payah, menyandarkan tubuhku pada tembok. Setelah kurasa
kuat, aku melangkah mendekati cermin yang terpajang disisi tembok kamarku yang
lain. Dengan gontai, tak perduli pecahan beling dari gelas minuman itu
melukai kakiku. Darah. Ah, aku telah terbiasa terluka. Jadi bagiku, luka dan darah yang ada
tak berarti sama sekali. Biarkan darah itu bercampur dengan hitam ampas kopi
yang mengotori lantai kamarku. Biar menjadi hitam dan merah. Seperti hidupku
dan luka yang kumiliki.
Didepan cermin aku hembusankan nafasku kuat-kuat sehingga bayang wajaku pun
hilang tertutup kabut. Ah, andai saja semudah itu aku menghilangkan wujud
diriku dalam kehidupan. Betapa mengasikan semua itu. Lalu besar dalam kehidupan
yang tak jelas seperti saat ini.Aku tidak akan mengakhiri hidupku layaknya pengecut. Itu sebab malam ini
aku memutuskan untuk menemukan wujud setan, musuh utamaku. Paling tidak, saat
ajalku tiba, aku merasa puas karena telah mengetahui seperti apa wujud musuhku
itu.
Musuhku bukan setan seperti yang ada dalam legenda dan cerita kebanyakan
orang. Dia bukan Kuntilanak, Sundel Bolong, Genderuwo, Tuyul, Pocong atau
apalah itu. Mereka-mereka itu bukanlah setan yang aku cari. Seandainya mereka ada.
Aku tak akan perduli. Mereka hanya mahluk jadi-jadian yang tak pernah jelas
jati dirinya
Perlahan kabut yang menutupi bayang diriku dicermin mulai hilang. Kembali
aku mendapati wajahku sendiri. Dan wajah itu seperti nya tak bisa aku kenali
lagi. Ah, aku membenci diriku sendiri yang juga tak pernah jelas wujud dan
bentuknya. Lihatlah! Dia sama sekali tak bisa terlihat hidup. Mati! wajahnya
yang pucat, dengan kantung mata yang terlihat begitu besar menghitam.
Menggelayut diantara mata dan pipi. Sorot matanya juga kosong! Lebih jauh
terlihat murung. Tapi aku masih bisa mengenali wajah itu, lewat
bekas-bekas luka dipelipis, goresan panjang disisi wajahku, dan sedikit luka
yang menyembul keluar dari garis rambutku. Ya, wajah dicermin itu tetaplah
diriku. Wajah dalam cermin itu masihlah aku. Meski aku merasa asing. Tolol!
Cermin itu aku hantam dengan satu pukulan. Pecah! Aku hanya berdiri termangu
ketika cermin itu jatuh tepat diatas kakiku. Berserakan
sebagaimana pecahan gelas-gelas itu. Aku mendengus. Bodoh!
Lalu aku berjalan perlahan menghampiri kasur untuk merebahkan tubuhku yang
mulai aku rasa letih.
Rasa kantuk mulai menghinggapi diriku. Berat. Mata ini terasa berat.
Perlahan-lahan dalam harap, aku menutup mataku. Semoga esok, cahaya matahari
tak lagi malu-malu untuk masuk kedalam kamar yang bau busuk ini. Ah, semoga
damai bisa aku raih dalam lelap tidurku. Sungguh aku letih.
Hening…
Kembali, dalam hening aku mendengar desis suara ular, lalu berubah lagi
menjadi dentuman keras suara musik sebuah diskotik, seiring suara gelak tawa
yang keras lagi lepas, sesekali berbisik. Akh, semua kembali seperti semula.
Sungguh aku tak suka! Berhentilah!! Dimanakah kau, Setan?! Tunjukan dirimu!!
Aku beranjak dari tempatku tertidur, meraih gelas kosong yang tergeletak dilantai.
Lalu aku hantamkan kearah tembok, lagi dan lagi hingga pecah berantakan.
“SETAAAAANN…..!!” aku memaki sejadinya, melempar terus gelas gelas itu
kesegala arah. Aku tak lagi perduli pecahan gelas itu melukai kakiku. Lantai
berubah merah, hitam ampas kopipun tenggelam ditelannya. “KELUAR KAU SETAN!…
KELUAAAAARR….!!”
Namun suara desis ular, dentuman musik keras, gelak tawa, dan bisik-bisik
itu semakin membahana dikepalaku. Sakiiiiiit!!… aku merasa sakit yang teramat
sakit di telingaku dan juga di kepala. AAAAGGGGHHHH…!!!…..
Tubuhku terkapar di atas lantai kamar yang kotor, dimana darah bercampur
dengan ampas kopi. Didalam genggaman tanganku masih aku genggam gelas yang tadi aku
hantamkan kebatok kepalaku. Ini gelas yang ke 3. Darah
mengalir perlahan dari kepalaku, sebagian mengalir melewati wajaku yang jatuh
telungkup. Dan sebagian yang lain membasahi lantai kamarku. Bercampur dengan
darah yang juga keluar dari tubuhku.
Pecahan gelas itu telah menancap sebagian menembus kulit perutku. Ah, sakitnya
terasa berbeda aku rasa. Dingin menjalar tiba-tiba disekujur tubuhku. Dalam
samar pandangan mata, aku melihat sosok bayangan hitam berdiri dihadapanku.
Dengan senyum menyeringai. Matanya..matanya menyala merah. A-apakah itu dia?
Setan yang sedari tadi aku cari dan harap kedatangannya.
Langkah kakinya mendekati diriku yang sudah tak berdaya. Samar-samar aku
melihat wajahnya mendekati wajahku. Tapi pandangan mataku semakin
samar. Semakin gelap. Aku hanya bisa merasakan dengus nafasnya yang panas
menerpa wajahku saat ia berkata, “Aku datang, wahai Pemuja” Lalu tertawa
membahana di seluruh ruang kamarku. Dan aku mulai merasakan kantuk yang amat
sangat. Lalu semua menjadi gelap dan gelap….