Pages

    Latest Tweets

    tes

    Popular post

    ?max-results=10">Label 3'); document.write("?max-results="+numposts+"&orderby=published&alt=json-in-script&callback=showrecentposts\"><\/script>");

You are here: Home »


Sebenarnya, aku ingin jujur padamu. Betapa setiap malam kuingin menikmati nikmatnya makan berdua, hanya denganmu. Kita akan duduk di meja makan menyantap makanan kesukaan kita sambil kedua mata kita berpandangan mesra dengan kaki kita bertautan di bawah meja. Seterusnya dan seterusnya.

Namun, engkau begitu jauh dariku. Sulit bagi kita memastikan kapan waktu yang tepat untuk bertemu dan saling melepaskan semua kerinduan yang sekian lama terpendam. Kita selalu ingin semua keinginan itu tak hanya terpatri di dalam dada saja. Bagaimana kalau salah satu dari kita harus meninggalkan dunia ini sementara kita belum bisa memenuhi hasrat masing-masing?

Tentu saja, kita tak ingin semua keindahan yang kita nanti itu akan sia-sia. Percuma kita menambatkan harapan besar untuk bersama jika salah satu dari kita harus pergi begitu cepat meninggalkan mimpi yang sebenarnya bisa kita wujudkan. Banyak harapan yang bisa diwujudkan dengan kesabaran dan rasa percaya yang kita tumbuhkan sendiri. Dan niscaya terwujud semua mimpi jika kita sendiri sudah tak punya keinginan mewujudkannya.

Rasa pesimis dalam diri kita sudah seharusnya kita tenggelamkan bersama asa yang kian menumpuk dalam jiwamu dan jiwaku. Kedua hati kita harus kita upayakan terus mampu menyimpan rasa yang sama hingga suatu hari kita bersatu dalam satu ikatan suci bernama pernikahan.


Kisah nasrudin ini selalu terbayang dipikiranku . Cukup simpel dan menggelitik tapi maknanya dalam. Begini ceritanya.

Suatu hari nasrudin dan anaknya keluar kota. Dalam perjalanan itu, sang anak naik keledai sementara nasrudin berjalan kaki sambil memegang tali keledai yg ditunggangi anaknya.
Tiba-tiba seseorang menegur dan berkata,”Sungguh jaman sudah gila, bagaimana mungkin seorang anak naik keledai dgn nyaman sementara ayahnya dibiarkan berjalan kaki. Sungguh anak biadab dan tak tahu diri.
Mendengar itu,sang anak berkata kpd nasrudin,”Ayah bukankan sudah kukatakan padamu, naikilah keledai ini. Biar aku yang berjalan kaki. Nasrudinpun menuruti kemauan anaknya dan menuruti ucapan orang yg menegurnya.

Ditengah perjalanan mereka bertemu dgn sekelompok orang yg lagi2 mencela nasrudin dan anaknya.”Pantaskah orangtua ini membiarkan anaknya berjalan kaki sementara dia dgn enaknya duduk diatas keledainya. Sungguh orang tua yang tdk punya kasihan pada anaknya”. Mendengar celaan itu nasrudin akhirnya mengajak anaknya naik keledai berdua untuk menyelesaikan. Mereka bertemu lagi dengan kerumunan orang yang sedang duduk2 dipinggir jalan. Salah satu dari mereka berkata,”Hai teman2 coba kalian liat,betapa kejamnya mereka,menunggangi keledai yg lemah itu berdua”.

Karena tak tahan mendengar ucapan/celaan mereka, nasrudin dan anaknya turun dari keledai. Keledai itu dituntun, sementara mereka berdua berjalan kaki. Tak lama kemudian,mereka berpapasan dgn sesama orang yg sedang bepergian. Mereka berkata,”Kalian berdua sudah gila. Membiarkan keledai begitu saja tanpa dinaiki sementara kalian berjalan kaki padahal udara siang ini sangat panas”. Akhirnya nasrudin pun kesal mendengar celaan ini dandia berkata pada anaknya,”Anakku manusia memang bisanya hanya mencela. Tidak ada yg dapat menghidari dan selamat dari cercaan orang lain


Suara bising dalam keheningan aku dengar. Seperti ular yang mendesis, tapi kadang seperti dentuman suara musik keras sebuah diskotik. Lalu terdengar gelak tawa yang lepas, atau sekedar bisik-bisik. Ah, keheningan yang tidak biasanya aku rasakan. Ramai. Gaduh. Berbeda. Aku tak suka! Berhentilah!! Aku mohon..
Menyandarkan tubuh disudut kamar, dengan kepala tengadah menghadap langit-langit. Sebatang rokok masih terselip diantara kedua bibirku, mengepulkan asap yang menari-nari. Gelap. Didalam kamar ini memang gelap. Cahaya satu-satunya ku dapatkan dari bara rokok ini. Hening yang bising dan juga gelap. Aku tak suka!

Gelas kopi tergeletak mati karena kosong. Hanya ampasnya saja menjadikan hitam lantai kamar yang telah kotor semakin kotor. Puntung rokok telah menyembul keluar dari dalam asbak, berdesakan, sebagian jatuh disisinya. Bangkai bungkus rokok dan gelas-gelas yang sebagian telah pecah pun berserakan hampir disetiap sudut kamar.

Dengan wajah tengadah, dengan kedua kaki yang ku rapatkan ketubuh. Aku mencoba mencari setan yang bergetayangan dikepalaku, agar berwujud di langit-langit itu. Biar aku dapati dengan jelas bagaimana wujud musuhku itu. Musuh yang selama ini telah menjerat diriku dalam kehidupan yang kelam seperti ini. Dan aku tak butuh tuhan!

Karena Tuhan telah menciptakan banyak perempuan berhati iblis dalam kehidupanku selama ini, dan juga semua penderitaan hidup yang kurasakan. Dari seorang perempuan yang seharusnya menyusui diriku, dia melemparkan aku kedalam kehidupan tanpa mengenalkan apa itu kasih sayang selain hujatan dan cacian. Tak lupa, pukulan keras yang, entah sudah berapa ratus kali menghantam batok kepalaku. Hingga berbekas disana sini. Dengan tangannya, dan dengan tangannya yang menggenggam batang sapu, gayung, gelas atau asbak. Meninggalkan aku terluka dan tersakiti. Dan aku harus bangkit dari semua luka itu sendiri. Tanpa pernah aku meminta pertolongan tuhan. Karena tuhanlah yang mengirim mereka dalam kehidupanku selama ini.

Bara perlahan-lahan mulai menghabiskan batang rokokku. Namun abunya tak juga jatuh. Aku masih menengadah dalam harapan menemukan setan. Setan itu musuhku. Dan tuhan bukan musuhku. Tuhan hanya mengirimkan kesialan-kesialan dalam kehidupanku tanpa mau menghasut diriku untuk terjerumus dalam kelam hidup. Tapi setan yang menghasut aku dan semua perempuan-perempuan iblis itu agar menyakiti diriku berkali-kali.

Akh! Setanpun berjiwa pengecut ternyata. Dia sama sekali tak menampakan wujudnya sampai saat ini. Aku memincingkan mataku sesekali berharap setan itu muncul ketika mereka berfikir aku telah tertidur. Namun tetap saja. Jadi aku pikir setan adalah mahluk pengecut yang selalu memprovokasi kehidupan manusia. Dan bersembunyi dalam tubuh manusia-manusia yang bengis. Yang berbuat tanpa mengenal belas kasih.
Akhirnya aku mulai bosan dan merasa menang. Rokok aku matikan. Lalu aku berdiri dengan bersusah payah, menyandarkan tubuhku pada tembok. Setelah kurasa kuat, aku melangkah mendekati cermin yang terpajang disisi tembok kamarku yang lain. Dengan gontai, tak perduli pecahan beling dari gelas minuman itu melukai kakiku. Darah. Ah, aku telah terbiasa terluka. Jadi bagiku, luka dan darah yang ada tak berarti sama sekali. Biarkan darah itu bercampur dengan hitam ampas kopi yang mengotori lantai kamarku. Biar menjadi hitam dan merah. Seperti hidupku dan luka yang kumiliki.

Didepan cermin aku hembusankan nafasku kuat-kuat sehingga bayang wajaku pun hilang tertutup kabut. Ah, andai saja semudah itu aku menghilangkan wujud diriku dalam kehidupan. Betapa mengasikan semua itu. Lalu besar dalam kehidupan yang tak jelas seperti saat ini.Aku tidak akan mengakhiri hidupku layaknya pengecut. Itu sebab malam ini aku memutuskan untuk menemukan wujud setan, musuh utamaku. Paling tidak, saat ajalku tiba, aku merasa puas karena telah mengetahui seperti apa wujud musuhku itu.
Musuhku bukan setan seperti yang ada dalam legenda dan cerita kebanyakan orang. Dia bukan Kuntilanak, Sundel Bolong, Genderuwo, Tuyul, Pocong atau apalah itu. Mereka-mereka itu bukanlah setan yang aku cari. Seandainya mereka ada. Aku tak akan perduli. Mereka hanya mahluk jadi-jadian yang tak pernah jelas jati dirinya

Perlahan kabut yang menutupi bayang diriku dicermin mulai hilang. Kembali aku mendapati wajahku sendiri. Dan wajah itu seperti nya tak bisa aku kenali lagi. Ah, aku membenci diriku sendiri yang juga tak pernah jelas wujud dan bentuknya. Lihatlah! Dia sama sekali tak bisa terlihat hidup. Mati! wajahnya yang pucat, dengan kantung mata yang terlihat begitu besar menghitam. Menggelayut diantara mata dan pipi. Sorot matanya juga kosong! Lebih jauh terlihat murung. Tapi aku masih bisa mengenali wajah itu, lewat bekas-bekas luka dipelipis, goresan panjang disisi wajahku, dan sedikit luka yang menyembul keluar dari garis rambutku. Ya, wajah dicermin itu tetaplah diriku. Wajah dalam cermin itu masihlah aku. Meski aku merasa asing. Tolol! Cermin itu aku hantam dengan satu pukulan. Pecah! Aku hanya berdiri termangu ketika cermin itu jatuh tepat diatas kakiku. Berserakan sebagaimana pecahan gelas-gelas itu. Aku mendengus. Bodoh!
Lalu aku berjalan perlahan menghampiri kasur untuk merebahkan tubuhku yang mulai aku rasa letih.
Rasa kantuk mulai menghinggapi diriku. Berat. Mata ini terasa berat. Perlahan-lahan dalam harap, aku menutup mataku. Semoga esok, cahaya matahari tak lagi malu-malu untuk masuk kedalam kamar yang bau busuk ini. Ah, semoga damai bisa aku raih dalam lelap tidurku. Sungguh aku letih.
Hening…

Kembali, dalam hening aku mendengar desis suara ular, lalu berubah lagi menjadi dentuman keras suara musik sebuah diskotik, seiring suara gelak tawa yang keras lagi lepas, sesekali berbisik. Akh, semua kembali seperti semula. Sungguh aku tak suka! Berhentilah!! Dimanakah kau, Setan?! Tunjukan dirimu!!
Aku beranjak dari tempatku tertidur, meraih gelas kosong yang tergeletak dilantai. Lalu aku hantamkan kearah tembok, lagi dan lagi hingga pecah berantakan. “SETAAAAANN…..!!” aku memaki sejadinya, melempar terus gelas gelas itu kesegala arah. Aku tak lagi perduli pecahan gelas itu melukai kakiku. Lantai berubah merah, hitam ampas kopipun tenggelam ditelannya. “KELUAR KAU SETAN!… KELUAAAAARR….!!”

Namun suara desis ular, dentuman musik keras, gelak tawa, dan bisik-bisik itu semakin membahana dikepalaku. Sakiiiiiit!!… aku merasa sakit yang teramat sakit di telingaku dan juga di kepala. AAAAGGGGHHHH…!!!…..

Tubuhku terkapar di atas lantai kamar yang kotor, dimana darah bercampur dengan ampas kopi. Didalam genggaman tanganku masih aku genggam gelas yang tadi aku hantamkan kebatok kepalaku. Ini gelas yang ke 3. Darah mengalir perlahan dari kepalaku, sebagian mengalir melewati wajaku yang jatuh telungkup. Dan sebagian yang lain membasahi lantai kamarku. Bercampur dengan darah yang juga keluar dari tubuhku.
Pecahan gelas itu telah menancap sebagian menembus kulit perutku. Ah, sakitnya terasa berbeda aku rasa. Dingin menjalar tiba-tiba disekujur tubuhku. Dalam samar pandangan mata, aku melihat sosok bayangan hitam berdiri dihadapanku. Dengan senyum menyeringai. Matanya..matanya menyala merah. A-apakah itu dia? Setan yang sedari tadi aku cari dan harap kedatangannya.

Langkah kakinya mendekati diriku yang sudah tak berdaya. Samar-samar aku melihat wajahnya mendekati wajahku. Tapi pandangan mataku semakin samar. Semakin gelap. Aku hanya bisa merasakan dengus nafasnya yang panas menerpa wajahku saat ia berkata, “Aku datang, wahai Pemuja” Lalu tertawa membahana di seluruh ruang kamarku. Dan aku mulai merasakan kantuk yang amat sangat. Lalu semua menjadi gelap dan gelap….


Gambar google


ORDE Baru telah melabur hitam peran sejarahnya. Tapi, harus diakui, di mata sebagian anak muda, Tan mempunyai daya tarik yang tak tertahankan. Sewaktu Soeharto berkuasa, menggali pemikiran serta langkah-langkah politik Tan sama seperti membaca novel-novel Pramoedya Ananta Toer. Buku-bukunya disebarluaskan lewat jaringan klandestin. Diskusi yang membahas alam pikirannya dilangsungkan secara berbisik. Meski dalam perjalanan hidupnya Tan akhirnya berseberangan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), sosoknya sering kali dihubungkan dengan PKI: musuh abadi Orde Baru.Perlakuan serupa menimpa Tan di masa Soekarno berkuasa. Soekarno, melalui kabinet Sjahrir, memenjarakan Tan selama dua setengah tahun, tanpa pengadilan. Perseteruannya dengan para pemimpin pucuk PKI membuat ia terlempar dari lingkaran kekuasaan. Ketika PKI akrab dengan kekuasaan, Bung Karno memilih Musso-orang yang telah bersumpah menggantung Tan karena pertikaian internal partai-ketimbang Tan. Sedangkan D.N. Aidit memburu testamen politik Soekarno kepada Tan. Surat wasiat itu berisi penyerahan kekuasaan kepemimpinan kepada empat nama-salah satunya Tan-apabila Soekarno dan Hatta mati atau ditangkap. Akhirnya Soekarno sendiri membakar testamen tersebut. Testamen itu berbunyi: “…jika saya tiada berdaya lagi, maka saya akan menyerahkan pimpinan revolusi kepada seorang yang telah mahir dalam gerakan revolusioner, Tan Malaka.”


Politik memang kemudian menenggelamkannya. Di Bukittinggi, di kampung halamannya, nama Tan cuma didengar sayup-sayup. Ketika Harry Albert Poeze, sejarawan Belanda yang meneliti Tan sejak 36 tahun lalu, mendatangi Sekolah Menengah Atas 2 Bukittinggi, Februari lalu, guru-guru sekolah itu terkejut. Sebagian guru tak tahu Tan pernah mengenyam pendidikan di sekolah yang dulu bernama Kweekschool (sekolah guru) itu pada 1907-1913. Sebagian lain justru tahu dari murid yang rajin berselancar di Internet. Mereka masih tak yakin, sampai kemudian Poeze datang. Poeze pun menemukan prasasti Engku Nawawi Sutan Makmur, guru Tan, tersembunyi di balik lemari sekolah.


Di sepanjang hidupnya, Tan telah menempuh pelbagai royan: dari masa akhir Perang Dunia I, revolusi Bolsyewik, hingga Perang Dunia II. Di kancah perjuangan kemerdekaan Indonesia, lelaki kelahiran Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat, 2 Juni 1897 ini merupakan tokoh pertama yang menggagas secara tertulis konsep Republik Indonesia. Ia menulis Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) pada 1925, jauh lebih dulu dibanding Mohammad Hatta, yang menulis Indonesia Vrije (Indonesia Merdeka) sebagai pleidoi di depan pengadilan Belanda di Den Haag (1928), dan Bung Karno, yang menulis Menuju Indonesia Merdeka (1933).Buku Naar de Republiek dan Massa Actie (1926) yang ditulis dari tanah pelarian itu telah menginspirasi tokoh-tokoh pergerakan di Indonesia. Tokoh pemuda radikal Sayuti Melik, misalnya, mengenang bagaimana Bung Karno dan Ir Anwari membawa dan mencoret-coret hal penting dari Massa Actie. Waktu itu Bung Karno memimpin Klub Debat Bandung. Salah satu tuduhan yang memberatkan Soekarno ketika diadili di Landrat Bandung pada 1931 juga lantaran menyimpan buku terlarang ini. Tak aneh jika isi buku itu menjadi ilham dan dikutip Bung Karno dalam pleidoinya, Indonesia Menggugat.


W.R. Supratman pun telah membaca habis Massa Actie. Ia memasukkan kalimat “Indonesia tanah tumpah darahku” ke dalam lagu Indonesia Raya setelah diilhami bagian akhir dari Massa Actie, pada bab bertajuk “Khayal Seorang Revolusioner”. Di situ Tan antara lain menulis, “Di muka barisan laskar, itulah tempatmu berdiri…. Kewajiban seorang yang tahu kewajiban putra tumpah darahnya.”Di seputar Proklamasi, Tan meno-rehkan perannya yang penting. Ia menggerakkan para pemuda ke rapat raksasa di Lapangan Ikada (kini kawasan Monas), 19 September 1945. Inilah rapat yang menunjukkan dukungan massa pertama terhadap proklamasi kemerdekaan yang waktu itu belum bergema keras dan “masih sebatas catatan di atas kertas”. Tan menulis aksi itu “uji kekuatan untuk memisahkan kawan dan lawan”. Setelah rapat ini, perlawanan terhadap Jepang kian berani dan gencar.


Kehadiran Tan di Lapangan Ikada menjadi cerita menarik tersendiri. Poeze bertahun-tahun mencari bukti kehadiran Tan itu. Sahabat-sahabat Tan, seperti Sayuti Melik, bekas Menteri Luar Negeri Ahmad Soebardjo, dan mantan Wakil Presiden Adam Malik, telah memberikan kesaksian. Tapi kesaksian itu harus didukung bukti visual. Dokumen foto peristiwa itu tak banyak. Memang ada rekaman film dari Berita Film Indonesia. Namun mencari seorang Tan di tengah kerumunan sekitar 200 ribu orang dari pelbagai daerah bukan perkara mudah.


Poeze mengambil jalan berputar. Ia menghimpun semua ciri khas Tan dengan mencari dokumen di delapan dari 11 negara yang pernah didatangi Tan. Tan, misalnya, selalu memakai topi perkebunan sejak melarikan diri di Filipina (1925-1927). Ia cuma membawa paling banyak dua setel pakaian. Dan sejak keterlibatannya dalam gerakan buruh di Bayah, Banten, pada 1940-an, ia selalu memakai celana selutut. Ia juga selalu duduk menghadap jendela setiap kali berkunjung ke sebuah rumah. Ini untuk mengantisipasi jika polisi rahasia Belanda, Jepang, Inggris, atau Amerika tiba-tiba datang menggerebek. Ia memiliki 23 nama palsu dan telah menjelajahi dua benua dengan total perjalanan sepanjang 89 ribu kilometer-dua kali jarak yang ditempuh Che Guevara di Amerika Latin.


Satu lagi bukti yang mesti dicari: berapa tinggi Tan sebenarnya? Di buku Dari Penjara ke Penjara II, Tan bercerita ia dipotret setelah cukur rambut dalam tahanan di Hong Kong. “Sekonyong-konyong tiga orang memegang kuat tangan saya dan memegang jempol saya buat diambil capnya. Semua dilakukan serobotan,” ucap Tan. Dari buku ini Poeze pun mencari dokumen tinggi Tan dari arsip polisi Inggris yang menahan Tan di Hong Kong. Eureka! Tinggi Tan ternyata 165 sentimeter, lebih pendek daripada Soekarno (172 sentimeter). Dari ciri-ciri itu, Poeze menemukan foto Tan yang berjalan berdampingan dengan Soekarno. Tan terbukti berada di lapangan itu dan menggerakkan pemuda.


Tan tak pernah menyerah. Mungkin itulah yang membuatnya sangat kecewa dengan Soekarno-Hatta yang memilih berunding dan kemudian ditangkap Belanda. Menurut Poeze, Tan berkukuh, sebagai pemimpin revolusi Soekarno semestinya mengedepankan perlawanan gerilya ketimbang menyerah. Baginya, perundingan hanya bisa dilakukan setelah ada pengakuan kemerdekaan Indonesia 100 persen dari Belanda dan Sekutu. Tanpa itu, nonsens.


Sebelum melawan Soekarno, Tan pernah melawan arus dalam kongres Komunisme Internasional di Moskow pada 1922. Ia mengungkapkan gerakan komunis di Indonesia tak akan berhasil mengusir kolonialisme jika tak bekerja sama dengan Pan-Islamisme. Ia juga menolak rencana kelompok Prambanan menggelar pemberontakan PKI 1926/1927. Revolusi, kata Tan, tak dirancang berdasarkan logistik belaka, apalagi dengan bantuan dari luar seperti Rusia, tapi pada kekuatan massa. Saat itu otot revolusi belum terbangun baik. Postur kekuatan komunis masih ringkih. “Revolusi bukanlah sesuatu yang dikarang dalam otak,” tulis Tan. Singkat kata, rencana pemberontakan itu tak matang.


Penolakan ini tak urung membuat Tan disingkirkan para pemimpin partai. Tapi, bagi Tan, partai bukanlah segala-galanya. Jauh lebih penting dari itu: kemerdekaan nasional Indonesia. Dari sini kita bisa membaca watak dan orientasi penulis Madilog ini. Ia seorang Marxis, tapi sekaligus nasionalis. Ia seorang komunis, tapi kata Tan, “Di depan Tuhan saya seorang muslim” (siapa sangka ia hafal Al-Quran sewaktu muda). Perhatian utamanya adalah menutup buku kolonialisme selama-lamanya dari bumi Indonesia.Berpuluh tahun namanya absen dari buku-buku sejarah; dua-tiga generasi di antara kita mungkin hanya mengenal samar-samar tokoh ini. Dan kini, ketika negeri ini genap 63 tahun, majalah ini mencoba melawan lupa yang lahir dari aneka keputusan politik itu, dan mencoba mengungkai kembali riwayat kemahiran orang revolusioner ini. Sebagaimana kita mengingat bapak-bapak bangsa yang lain: Bung Karno, Bung Hatta, Sjahrir, Mohammad Natsir, dan lainnya.

Gambar: Google



Beberapa petikan penting soal Tan Malaka
”Ia menulis Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) pada 1925, jauh lebih dulu dibanding Mohammad Hatta, yang menulis Indonesia Vrije (Indonesia Merdeka) sebagai pleidoi di depan pengadilan Belanda di Den Haag (1928), dan Bung Karno, yang menulis Menuju Indonesia Merdeka (1933)”.“Buku Naar de Republiek dan Massa Actie (1926) yang ditulis dari tanah pelarian itu telah menginspirasi tokoh-tokoh pergerakan di Indonesia. Tokoh pemuda radikal Sayuti Melik, misalnya, mengenang bagaimana Bung Karno dan Ir Anwari membawa dan mencoret-coret hal penting dari Massa Actie.”
“Bagi Yamin-yang kemudian bergabung dengan Tan dalam kelompok Persatuan Perjuangan-Tan tak ubahnya Bapak Bangsa Amerika Serikat, Thomas Jefferson dan George Washington: merancangkan Republik sebelum kemerdekaannya tercapai”
“W.R. Supratman sudah membaca seluruh buku Massa Actie itu,” kata Hadidjojo. Muhammad Yaminlah yang memaksa Sugondo memberikan waktu bagi Supratman memainkan lagu ciptaannya di situ. Lalu bergemalah lagu Indonesia Raya, lagu yang terinspirasi dari bagian akhir Massa Actie: “Lindungi bendera itu dengan bangkaimu, nyawamu, dan tulangmu. Itulah tempat yang selayaknya bagimu, seorang putra tanah Indonesia tempat darahmu tertumpah”
“Ia hidup dalam pelarian di 11 negara. Ia memiliki 23 nama palsu. Ia diburu polisi rahasia Belanda, Jepang, Inggris dan Amerika Serikat”.
“Ketika memperingati sewindu hilangnya Tan Malaka pada 19 Februari 1957, Kepala Staf Angkatan Darat Mayor Jenderal Abdul Haris Nasution mengatakan pikiran Tan dalam Kongres Persatuan Perjuangan dan pada buku Gerpolek (Gerilya Politik Ekonomi) menyuburkan ide perang rakyat semesta. Perang rakyat semesta ini, menurut Nasution, sukses ketika rakyat melawan dua kali agresi Belanda. Terlepas dari pandangan politik, ia berkata, Tan harus dicatat sebagai tokoh ilmu militer Indonesia. “
“….jika saya tiada berdaya lagi, maka saya akan menyerahkan pimpinan revolusi kepada seorang yang telah mahir dalam gerakan revolusioner, Tan Malaka. (testamen Soekarno)”
“Di seputar Proklamasi, Tan menorehkan perannya yang penting. Ia menggerakkan para pemuda ke rapat raksasa di Lapangan Ikada (kini kawasan Monas), 19 September 1945. Inilah rapat yang menunjukkan dukungan massa pertama terhadap proklamasi kemerdekaan yang waktu itu belum bergema keras dan “masih sebatas catatan di atas kertas”. Tan menulis aksi itu “uji kekuatan untuk memisahkan kawan dan lawan”. Setelah rapat ini, perlawanan terhadap Jepang kian berani dan gencar”.
Ketua Partai Komunis Indonesia, D.N. Aidit, mengatakan sumber kegagalan pemberontakan 1926 antara lain kurang persiapan dan minim koordinasi. “Tapi, selain itu, ada orang seperti Tan Malaka, yang tidak melakukan apa pun, hanya menyalahkan setelah perlawanan meletus,” kata Aidit. Dia juga menyebut Tan sebagai Trotskyite, pengikut Leon Trotsky (lawan politik Stalin), “sang pemecah belah”.
”Musso bersumpah menggantung Tan karena pertikaian internal partai”.“Kongres memberi tepuk tangan yang ramai pada Tan Malaka, seolah-olah telah memberi ovasi padanya,” tulis Gerard Vanter untuk harian De Tribune. “Itu merupakan suatu pujian bagi kawan-kawan kita di Hindia yang harus melakukan perjuangan berat terhadap aksi kejam.” (Konggres Komintern ke 4)

Entri Populer